Sejarah Kabupaten Sukabumi Jawa Barat


Hari Jadi Kabupaten Sukabumi diperingati setiap tanggal 1 Oktober yang didasarkan dari titimangsa keberhasilan para pejauang muda Sukabumi setelah merebut paksa kekuasaan transisi Jepang setelah kalah oleh Sekutu tahun 1945. Akibat penolakan tuntutan para pejauang muda Sukabumi tanggal 1 Oktober 1945 melakukan penyerbuan dan berhasil antara lain :

Membebaskan 9 orang tahanan politik, salah seorang di antaranya RA Kosasih yang kemudian sempat menjadi Panglima Kodam Siliwangi.
Perebutan kekuasaan pemerintah sipil, dengan mengganti wedana dan camat yang tidak mendukung aksi pejuang. Jabatan-jabatan di daerah diserahkan kepada para alim ulama.

Pengambilalihan instalasi penting, seperti PLN, Kantor Telepon, Tambang Mas Cikotok, Industri Logam BARATA dan penagambilalihan gudang senjata di Wangun dan Tegal Panjang.

Setelah berhasil merebut kekuasaan dari pemerintah transisi Jepang, para pejuang Sukabumi mengusulkan Mr. Sjamsudin sebagai Walikota Sukabumi dan Mr. Haroen sebagai Bupati Sukabumi. Atas usul tersebut, Residen Bogor mengangkat Mr. Haroen sebagai Bupati pertama Kabupaten Sukabumi di Era Pemerintahan Republik Indonesia tahun 1946.

Sejak saat itu peristilahan yang tertera pada nomenklatur pemerintahan diganti misalnya Ken diganti menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan (sekarang sudah tidak ada), Son menjadi Kecamatan dan Ku menjadi Desa.

Kekuasaan untuk menetapkan peraturan di Daerah pun mulai disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku secara nasional, seperti perubahan kedudukan Komite Nasional Daerah. Komite yang semula bertugas sebagai pembantu eksekutif, diberi wewenang penuh bersama eksekutif dalam menetapkan peraturan daerah, sejalan dengan peraturan tingkat pusat dan daerah atasan.

Belanda berusaaha untuk mengembalikan kekuasaanya, dengan memanfaatkan gerakan pasukan sekutu. Tanggal 9 Desember 1945 pasukan Inggris yang berintikan tentara Ghurka, bersama dengan pasukan Belanda dengan NICA-nya, berusaha masuk ke Sukabumi dan dihadang gabungan pasukan pejuang, maka terjadilah pertempuran sengit, yang dikenal dengan Pertempuran Bojongkokosan.

Iring-iringan kendaraan perang tentara Inggris, terdiri dari tank dan panser, diserang pasukan Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda. Kerugian besar diderita pihak sekutu. Disamping beberapa kendaraan perang berhasil diledakkan, banyak tentara Ghurka terbunuh dan beberapa perwira Inggris tewas.. Di sekitar situs pertempuran bersejarah itu, sekarang berdiri monumen perjuangan Bojongkokosan. Sejak peristiwa itu, beberapa gerakan tentara Belanda dan sekutu senantiasa mendapat perlawanan para pejuang muda Sukabumi.

Tanggal 21 Juli 1947, Belanda berhasil lolos masuk ke Sukabumi dan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi di bawah Mr. Soewardi, untuk sementara dipindahkan ke Nyalindung, sebelah Selatan kota Sukabumi. Belanda membentuk pemerintaha sipil dan mengangkat R.A.A. Hilman Djajadiningrat sebagai Bupati Sukabumi, yang kemudian digantikan oleh R.A.A. Soeriadanoeningrat.

Tahun 1950, setelah kekuasaan kembali ke tangan Republik Indonesia, pemerintahan di daerah ditata kembali berdasarkan UU 22/1948. Dengan keluarnya UU 14/1950 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di lingkungan Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Sukabumi menjadi daerah otonom. R.A. Widjajasoeria diangkat menjadi Bupati, menggantikan Soeriadanoeningrat. 

Pada masa pemerintahan, R.A. Widjajasoeria, yang berakhir tahun 1958 itu, telah terjadi perubahan-perubahan dalam struktur pemerintahan di daerah yaitu :
Diundangkannya UU I/1957 menggantikan UU 21/1948. Dengan undang-undang baru ini, Kepala Daerah hanya diserahi tugas otonomi daerahnya sendiri, sedang tugas pengawasan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat menjadi tanggung jawab Menteri Dalam Negeri.
Terjadi dualisme tugas dan kewenangan di daerah, antara tugas dan kewenangan pusat di daerah.
 
Tahun 1958, R. Hardjasoetisna diangkat menjadi Kepala Daerah, menjalankan tugas-tugas kewenangan daerah. Sedangkan sebagai pelaksana tugas dan kewenangan pemerintah pusat di daerah dijabat oleh pejabat tinggi yang disebut Pejabat Bupati, saat itu dijabat oleh R.A. Abdoerachman Soeriatanoewidjaja.

UU I/1957 tidak berlangsung lama dengan terbitnya Penpres R.I 6/1959 yang menyerahkan tugas-tugas pusat bidang pemerintahan umum, maupun urusan rumah tangga daerah, ke tangan Bupati/Kepala Daerah. Dalam menjalankan tugasnya Bupati/Kepala Daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). R. Koedi Soeriadihardja diangkat sebagai Bupati/Kepala Daerah hingga tahun 1967, yang kemudian digantikan oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Haji Anwari.

Perubahan dalam sistem dan struktur pemerintahan daerah turut mewarnai dinamika dan perkembangan daerah serta masyarakat Kabupaten Sukabumi. Setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 yang menjadi acuan sistem pemerintahan di daerah, pada tahun 1965 diundangkan UU 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ini kemudian dicabut sebelum dilaksanakan dan diganti dengan UU 5/1974. Undang-undang baru ini kemudian berlaku selama pemerintahan Orde Baru, hingga diundangkannya UU No. 22/1999 yang sekarang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Haji Anwari merupakan Bupati pertama yang diangkat di masa Orde Baru. Pada masa pemerintahannya, Kabupaten Sukabumi mulai mengembangkan pembangunan infrastruktur, yang mengakhiri isolasi wilayah selatan Kabupaten Sukabumi. Sebagai Bupati, Haji Anwari berakhir tahun 1978. Bupati berikutnya adalah :
Drs. H.M.A Zaenuddin (1978 ? 1983)
Dr. H. Ragam Santika (1983 ? 1989)
Ir. H. Muhammad (1989 ? 1994)
Drs. H.U. Moch. Muchtar (1994 ? 1999)
Drs. H. Maman Sulaeman (2000 ? 2005)
Drs. H. Sukmawijaya, MM (2005 ? 2010)

Drs. H. Sukamawijaya, MM, merupakan Bupati Sukabumi pertama hasil Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan pada hari Senin tanggal 27 Juni 2005 berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 yang berpasangan dengan Drs. H. Marwan Hamami, MM sebagai Wakil Bupati Sukabumi. Pada usianya yang ke 60, Kabupaten Sukabumi membuat tonggak sejarah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni telah dilaksanakannya pemilihan Bupati/Wakil Bupati Sukabumi secara langsung yang berjalan aman, tertib, dan damai.

Drs. H. Sukmawijaya, MM dan Drs. H. Marwan Hamami, MM., dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati masa bhakti tahun 2005-2010 oleh Gubernur Jawa Barat Drs. H. Dany Setiawan, M.Si. atas nama Menteri Dalam Negeri RI pada Sidang Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Sukabumi pada Hari Senin tanggal 29 Agustus 2005 yang dipimpin oleh Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi H Sopandi Harjasasmita. 

Sejarah Kabupaten Garut Jawa Barat


Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cimurah, sekitar 3 Km sebelah Timur Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar 5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung Karacak.
http://juragansejarah.blogspot.com

Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi "gagarut".

Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut). Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut.. Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.

Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk. 

Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).

HIstory of Chicago Fire (Sejarah Chicago Fire)


On December 17, 1993, in fulfillment of the U.S. Soccer Federation’s promise to FIFA, World Cup USA 1994 Chairman and CEO, Alan I. Rothenberg, announced the formation of Major League Soccer and unveiled the league logo. After receiving formal bids from 22 cities to secure a team, signing many top U.S. and international stars, solidifying financial investment and welcoming key corporate sponsors, MLS unveiled its plans for the league's inaugural season on October 17, 1995.

Entering its third season Major League Soccer added two teams to the league for a total of 12. The young league chose Chicago and Miami as its candidates for the first round of expansion.

It all began with a legend. On the 126th anniversary of the Great Chicago Fire, October 8, 1997, an announcement was made. The new Major League Soccer team assigned to Chicago would be called the Chicago Fire. Its inaugural season would be in 1998.

The Fire signed quality players, marketing to its Polish population (2nd largest in the world to Warsaw), and scored big with Eastern European players. Poland's national team captain Peter Nowak was signed by MLS and allocated to Chicago on December 16, 1997. In addition to Nowak, Jerzy Podbrozny and Roman Kosecki were added to the Fire roster. Lubos Kubik from the Czech Republic made four international players for the team. Chicago native Frank Klopas, a former Chicago Sting player, also signed with the Fire.

Chicago also targeted its Spanish population with the signing of Jorge Campos, Diego Gutierrez and Chris Armas. Campos stayed for one season, but the other two quickly became long-time regulars and fan favorites.

With current U.S. Men’s National Team head coach Bob Bradley at the helm, the Fire finished third overall during the regularseason and took the Western Conference’s second seed heading into the postseason. Bradley’s men advanced in two matches past Colorado and then defeated top seeded LA Galaxy to advance to the MLS Cup Final, taking on the only league champion the league had ever known in two-time winners D.C. United.

Playing at the Rose Bowl in Pasadena on Sunday, October 25, the Fire went ahead in the 29thminute when Roman Kosecki finished off a feed from Peter Nowak. The Polish national team captain would combine with the club’s future all-time leading scorer Ante Razov on Diego Gutierrez’s effort just before halftime. The two goals were all the club would need as the Fire became  the first MLS expansion side to win the league championship – a feat that hasn’t been matched to this day following five more rounds of expansion.

Five days later, the club won the first of four domestic cup crowns, defeating the Columbus Crew 2-1 in extra time at Soldier Field.  Jerzy Podprozny’s 45th minute penalty put the side ahead going into the half but the Crew’s Stern John equalized just after the break, pushing the match to extra time. It took only nine minutes of the additional period for the Fire to clinch its memorable “American Double” when Chicago soccer legend Frank Klopas pounded home the winner from close range in front of a jubilant Fire crowd.

The club had a chance at the double again in 2000 welcoming in the likes of Barcelona legend Hristo Stoitchkov as well as rookies DaMarcus Beasley and current U.S. Men’s National Team captain Carlos Bocanegra. The side finished atop the Central Division while losing out on the Supporters Shield (awarded to the team with the best regular season record) on a tie breaker with the Kansas City Wizards. Still, the Fire advanced past the New England Revolution with ease, drubbing the club’s continuous playoff foe 6-0 in the 2nd leg of the series. It took three matches in the league semifinal to dispatch the MetroStars, but the Fire advanced for an MLS Cup Final date with MLS regular season champion Kansas City.

In a match played on October 15 at RFK Stadium in Washington, D.C., Kansas City ran out to an early lead through Danish international Miklos Molnar’s 11th minute strike. The Fire responded by barraging Wizards keeper Tony Meola with 22 shots, forcing the U.S. international  to make an MLS Cup Final record 10 saves. The better team on the day, the Fire’s high-powered offense featuring internationals  Stoitchkov, Nowak, Razov, Beasley and Josh Wolff couldn’t get past Meola and the side fell in the final 1-0 in front of almost 40,000 fans in D.C.

Still with a chance to take silverware, the club returned to the Windy City for the newly renamed Lamar Hunt U.S. Open Cup final at Soldier Field against fellow 1998 expansion side Miami Fusion. Like the ’98 final a goal just before halftime, this time a 44thminute strike from Stoitchkov, took the Fire into the break up 1-0. The side remained with the slim lead until Fusion defender Tyrone Marshall scored a late own goal in the 88th minute, taking the score to 2-0. A stoppage time goal from Brazilian attacker Welton served as only consolation for the Miami-based side as the Fire came out 2-1 winners, taking their second U.S. Open Cup title in three years.

The Fire were forced to move west to Cardinal Stadium in the Chicago suburb of Naperville for the 2002 and most of 2003 seasons. In the latter year, the Fire used the friendly confines of the North Central College campus to run up the league’s best regular season record, winning the MLS Supporters Shield title that barely eluded the side three years before under the direction of first year head coach Dave Sarachan.

Prior to the start of the MLS Cup playoffs that year, the club won its third Lamar Hunt U.S. Open Cup title with a 1-0 win over MetroStars at Giants Stadium in East Rutherford, NJ. Rookie Jamaican forward Damani Ralph scored the 68th minute winner giving the club its the third cup championship, the most among Major League Soccer teams.

In the MLS Cup playoffs, the Fire easily navigated past DC United over two legs and used a memorable “Golden Goal” winner from captain Chris Armas to once again defeat the New England Revolution in the one-off Eastern Conference championship match at Soldier Field, advancing to their third MLS Cup final in six seasons.

The 2003 final saw a few similarities with the previous two the club had played in. First, the Fire returned to Los Angeles, the area where the team took its first silverware in 1998, this time playing the final at the newly built Home Depot Center in Carson, CA. Second: the final matched the league’s top two clubs from the regular season, the Fire as Supporters Shield and Eastern Conference champions and the West’s top team, the San Jose Earthquakes.

San Jose ran out to a two goal lead into the half following a 5th minute strike from Ronnie Ekelund and a 38th minute goal from Landon Donovan. DaMarcus Beasley pulled one back just after the break but San Jose immediately responded with a goal from Richard Mulrooney to put things at 3-1.

A Chris Roner own goal pulled the Fire back to 3-2 and the team had a chance to equalize but Ante Razov’s penalty take wassaved by Pat Onstad. Landon Donovan put the match away with his second goal in the 71st minute and San Jose took their second MLS Cup championship with a 4-2 victory.

The next season the club failed to make the playoffs for the first time in seven years of existence but did make a deep run to the U.S. Open Cup Final, where an extra time goal from Russian striker Igor Simutenkov kept the side from winning its fourth domestic cup championship.

In 2006, the club finally had a stadium to call their own when Toyota Park was completed. After playing a then MLS record nine consecutive matches on the road, the Fire opened their state-of-the art ground in Bridgeview, IL with a 3-3 draw against the New England Revolution as Nate Jaqua tallied the first goal in stadium history as part of his brace on the day and rookie Calen Carr scored his first career goal.

Later that year, the club found the fourth U.S. Open Cup title that eluded them just two years before when they defeated the LA Galaxy 3-1 behind goals from Jaqua, Andy Herron and Thiago at Toyota Park. Though only 9,000 were in attendance, the match is often hailed as one of the most memorable in Fire history.

The Fire were bolstered in July 2007 when Mexican superstar attacker Cuauhtemoc Blanco joined the club, helping lead to a lateseason playoff push. Two months later, the team was purchased from AEG by Los Angeles-based Andell Holdings, led by Andrew Hauptman, with Andell being the second owners in club history. The Fire ran to the Eastern Conference finals where they fell 1-0 to the New England Revolution.

A year later the club added U.S. legend and native Chicagoan Brian McBride to the roster, uniting two rival internationals players under one banner.  McBride and Blanco worked to help the Fire back to the Eastern Conference final in both 2008 and 2009 but came up short handed in both matches.

The 2010 season was disappointing my club standards as the team failed to make the playoffs for just the second time in 13seasons. Despite a disappointing year, the club saw the last remaining “Fire Original” C.J. Brown reach 371 career all competitions appearances for the club, the third most all-time for an MLS player behind only Jaime Moreno (DC United) and Cobi Jones (LA Galaxy).

Both Brown and McBride announced their retirements effective at the close of the 2010 season, bringing to end two very different careers that had major impacts on American soccer.

July 16, 2010 also saw the club’s U16 Academy become the first MLS Academy side to win a USSFDA National Championship as they dispatched Cal Odyssey on penalties in the final. A month later, Academy product Victor Pineda became the club’s first-ever Home Grown player signing, rising all the way from the club’s Juniors program to the first team.


Sejarah Klub Sepak Bola dapat dibaca disini

Sejarah Kerajaan Tarumanegara Lengkap


SEJARAH KERAJAAN TARUMANAGARA

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Sumber Sejarah

Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

 Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan

1.      Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2.      Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3.      Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4.      Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5.      Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6.      Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7.      Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.

Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.

Spoiler for Prasasti Kerajaan Tarumanegara

Prasasti Pasir Muara

Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda

Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.

Prasasti Telapak Gajah

Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7 Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi shalasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam

Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Prasasti Jambu

Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.


Sumber berita dari luar negeri
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
1.      Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputihdi Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien
2.      Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
3.      Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.

Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.

Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

Kepurbakalaan Masa Tarumanagara


Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya
No.
Nama Situs
Artepak
Keterangan
1
Kampung Muara
Menhir (3)



Batu dakon (2)



Arca batu tidak berkepala



Struktur Batu kali



Kuburan (tua)

2
Ciampea
Arca gajah (batu)
Rusak berat
3
Gunung Cibodas
Arca
Terbuat dari batu kapur


3 arca duduk



arca raksasa



arca (?)
Fragmen


Arca dewa



Arca dwarapala



Arca brahma
Duduk diatas angsa
(Wahana Hamsa)
dilengkapi padmasana


Arca (berdiri)
Fragmen kaki dan lapik


(Kartikeya?)



Arca singa (perunggu)
Mus.Nas.no.771
4
Tanjung Barat
Arca siwa (duduk) perunggu
Mus.Nas.no.514a
5
Tanjungpriok
Arca Durga-Kali Batu granit
Mus.Nas. no.296a
6
Tidak diketahui
Arca Rajaresi
Mus.Nas.no.6363
7
Cilincing
sejumlah besar pecahan
settlement pattern
8
Buni
perhiasan emas dalam periuk
settlement pattern


Tempayan



Beliung



Logam perunggu



Logam besi



Gelang kaca



Manik-manik batu dan kaca



Tulang belulang manusia



Sejumlah besar gerabah bentuk wadah

9
Batujaya (Karawang)
Unur (hunyur) sruktur bata
Percandian


Segaran I



Segaran II



Segaran III



Segaran IV



Segaran V



Segaran VI



Talagajaya I



Talagajaya II



Talagajaya III



Talagajaya IV



Talagajaya V



Talagajaya VI



Talagajaya VII

10
Cibuaya
Arca Wisnu I



Arca Wisnu II



Arca Wisnu III



Lmah Duwur Wadon
Candi I


Lmah Duwur Lanang
Candi II


Pipisan batu


Spoiler for Naskah Wangsakerta

Naskah Wangsakerta

Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.

Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.

Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.

Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.

Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?

Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).

Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.

Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.


Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta
Raja-raja Tarumanegara
No
Raja
Masa pemerintahan
1
Jayasingawarman
358-382
2
Dharmayawarman
382-395
3
Purnawarman
395-434
4
Wisnuwarman
434-455
5
Indrawarman
455-515
6
Candrawarman
515-535
7
Suryawarman
535-561
8
Kertawarman
561-628
9
Sudhawarman
628-639
10
Hariwangsawarman
639-640
11
Nagajayawarman
640-666
12
Linggawarman
666-669


Sejarah Kota Magelang Jawa Tengah


Kota Magelang memiliki sejarah panjang dan menarik. Nama Magelang sendiri bertolak belakang dari berbagai sumber, seperti cerita rakyat, dongeng, legenda dan sebagainya. Ada yang berpendapat bahwa nama Magelang itu berasal dari kisah datangnya orang Keling (Kalingga) ke Jawa yang mengenakan hiasan gelang di hidungnya. Kata gelang mendapat awalan “ma” yang menyatakan kata kerja memakai atau menggunakan, maka berarti “memakai gelang”. Jadi Magelang berarti daerah yang didatangi orang-orang yang menggunakan atau memakai gelang.

Adalagi yang berpendapat bahwa Magelang itu berasal dari kisah dikepungnya Kyai Sepanjang oleh prajurit Mataram secara “temu gelang” atau rapat berbentuk lingkaran. Ada pula yang mengaitkan nama Magelang itu dengan kondisi geografis daerah Kedu “cumlorot” yang ternyata semakna dengan kata gelang. Berawal dari sebuah desa perdikan “Mantyasih” yang mengandung arti beriman dalam cinta kasih. Penetapan desa Mantyasih tertulis pada Prasasti Mantyasih tertulis pada Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 M oleh Raja Dyah Balitung yang kemudian menjadi dasar penetapan Hari Jadi Magelang. Desa tersebut kemudian berada di sebelah barat Kota Magelang dengan nama Meteseh di wilayah Kecamatan Magelang Utara Kota Magelang.

Daerah perdikan ini dulu disebut Kebondalem, yang berarti kebun milik Raja, yaitu Sri Sunan Pakubuwono dari Surakarta. Tanah yang membujur ke selatan dari kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman sekarang, dulunya adalah kebun kopi, rempah, buah-buahan dan sayur-sayuran termasuk bayam atau “bayem” dalam bahasa Jawa. Sisa-sisa pernah adanya kebun itu masih dapat dilihat dari nama-namatempat seperti : Kebondalem, yaitu sebuah kampung di Kelurahan Potrobangsan, Botton Kopen dahulu adalah kebun kopi, Kebonpolo atau kebun pala, Kemirikerep/Kemirirejo bekas kebun kemiri, Jambon bekas kebun jambu, Bayeman bekas kebun bayam, Pucangsari bekas kebun pohon pucang, Kebonsari bekas kebun yang indah ditanami bermacam-macam tumbuhan, Jambesari kebun yang ditanami pohon pinang/jambe, Karet bekas kebun pohon karet.

Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke-18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintah setingkat kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danoekromo sebagai bupati pertama dengan gelar Raden Tumenggung Danoeningrat. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membuat alun-alun, bangunan tempat tinggal bupati serta sebuah masjid dan gereja GPIB Jalan Alun-alun Utara. Dalam perkembangan selanjutnya, dipilihlah Magelang sebagai ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818 karena letaknya yang startegis, dilalui jalan raya yang menuju Yogyakarta.

Setelah pemerintah Inggris takluk oleh Belanda, Kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan sehingga mendorong perkembangan kota. Selain karena letaknya yang strategis, udara Magelang juga nyaman serta memiliki pemandangan indah, sehingga oleh Belanda kota ini dijadikan Kota Magelang Militer. Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.

Kota Magelang diberikan status sebagai Kota Magelang Gemeente pada 1 April 1906 dan dipimpin oleh seorang Belanda yang menjabat sebagai Burgemeester. Burgemeester inilah yang sekarang disebut Walikota.

Perkembangan jaman menuntut dibangunnya berbagai sarana dan prasarana kota. Sarana dan prasarana air bersih, penerangan, perbankan, tempat-tempat makan-minum, tempat hiburan dan rekreasi serta yang lain terus berkembang sebagaimana layaknya sebuah kota yang penuh dengan dinamika. (dari Buku Panduan Wisata Kota Magelang)

Kota Magelang terletak di antara 70 LS dan 110 BT, ,merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menempati posisi sangat strategis, yaitu terletak tepat di tengah pulau Jawa dan berada di persimpangan poros utama : Yogyakarta-Semarang, Yogyakarta-Wonosobo, Semarang-Kebumen-Cilacap. Jaraknya 65 km dari Semarang dan 42 km dari Yogyakarta.
      Dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit seperti : Sindoro, Sumbing, Perahu, Telomoyo, Merbabu, Merapi, Andong dan Menoreh, serta terdapat sebuah bukit kecil ” Bukit Tidar ” di jantung kota dengan ketinggian ± 500 m dari permukaan laut, menyebabkan Magelang beriklim sejuk, dengan temperatur antara 250270 Celcius. Dua buah sungai, Progo dan Elo membatasi wilayah ini di sebelah barat dan timur.

Sejarah Kabupaten Klaten



Ada dua versi yang menyebut tentang asal muasal nama Klaten. Versi pertama mengatakan bahwa Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Kata kelati ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Klaten sejak dulu merupakan daerah yang terkenal karena kesuburannya.

Versi kedua menyebutkan Klaten berasal dari kota Melati. Kata Melatikemudian berubah menjadi Mlati. Berubah lagi jadi kata Klati, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten. Versi ke dua ini atas dasar kata-kata orangtua sebagaimana dikutip dalam buku Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993.

Melati adalah nama seorang kyai yang pada kurang lebih 560 tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkap dari Kyai Melati, menetap di tempat itu. Semakin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang.

http://juragansejarah.blogspot.comDukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat setempat lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian darinama Kyai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan.

Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan itu aman dari gangguan perampok. Setelah meninggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya.

Sampai sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang pendapat. Belum ada penelitian yang dapat menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan daerah otonom tahun 1950.

Daerah Kabupaten Klaten semula adalah bekas daerah swapraja Surakarta. Kasunanan Surakarta terdiri dari beberapa daerah yang merupakan suatu kabupaten. Setiap kabupaten terdiri atas beberapa distrik. Susunan penguasa kabupaten terdiri dari Bupati, Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri Distrik, Penghulu, Carik Kabupaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik, dan Langsir.

Susunan penguasa Distrik terdiri dari Pamong Distrik (1 orang), Mantri Distrik (5), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik Kemanten (5 orang), Kajineman (15 orang).

Pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1749, terjadi perubahan susunan penguasa di Kabupaten dan di Distrik. Untuk Jawa dan Madura, semua propinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten, kabupaten terbagi atas distrik-distrik, dan setiap distrik dikepalai oleh seorang wedono.

Pada tahun 1847 bentuk Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Pulisi. Maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Pulisi adalah di samping Kabupaten itu menjalankan fungsi pemerintahan, ditugaskan pula agar dapat menjaga ketertiban dan keamanan dengan ditentukan batas-batas kekuasa wilayahnya.

Berdasarkan Nawala Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panata Gama VII, Senin Legi 23 Jumadilakhir Tahun Dal 1775 atau 5 Juni 1847 dalam bab 13 disebutkan :
“……………………………….” KratonDalam Surakarta Adiningrat Nganakake Kabupaten cacah enem.
“………………………………” Kabupaten cacah enem iku Nagara Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel, lan Sragen.
“………………………………” Para Tumenggung kewajiban rumeksa amrih tata tentreme bawahe dhewe-dhewe serta padha kebawah marang Raden Adipati.