Sejarah Penjajahan Belanda di Indonesia

 

Sejarah Penjajahan Belanda di Indonesia

- Indonesia mengukir kisah perjuangan yang panjang dalam perjalanannya. Kemerdekaan yang kita dapatkan sekarang bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Bangsa Indonesia dulu sering dijajah oleh negara lain, salah satunya yang akan saya bahas adalah

Belanda menjajah Indonesia selama lebih kurang 350 tahun.

Berikut ini ulasannya :

*Faktor pendorong bangsa Eropa melakukan penjelajahan adalah*

1. Kemajuan di Bidang Iptek, seperti ditemukannya kompas dan perahu layar.
2. Kisah perjalanan Marcopolo dan pedagang Asia yang sampai ke Indonesia.
3. Semangat Reconquesta (jiwa petualang).
4. Penemuan Copernicus yang didukung Galileo yang menyatakan bahwa bumi itu bulat.
5. Keinginan untuk menyebarkan agama Nasrani

Pelopor penjelajahan samudra adalah bangsa Portugis dan Spanyol, antara lain

1. Bartholomeus Diaz, berhasil menyusuri pantai barat Afrika sampai di Ujung Afrika Selatan yang kemudian disebut Tanjung Harapan (Cape Of Good Hope).
2. Vasco da Gama, berhasil mendarat di Calicut, India.
3. Alfonso de Albuquerque, berhasil menundukkan malaka (1511) dan Maluku (1512).
4. Christopher Columbus, Berhasil menyebrangi Samudra Atlantik mendarat di kepulauan Bahama dan menemukan Benua Amerika.
5. Ferdinand de Magelhaens, berhasil tiba di Filiphina
6. Cortez, berhasil menduduki Mexico (1519) dengan menakhlukkan bangsa Indian Aztec dan Maya.
7. Pizarro, berhasil menakhlukkan kerajaan Inca di Peru.

Kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia sampai dengan Terbentuknya VOC.

Pada tahun 1602 (cari tepatnya), dibentuklah VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), atau Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur (cukup disingkat Kongsi dagang milik Belanda) dibawah pimpinan .


*Tujuan dibentuknya VOC adalah*
a. Menghindari persaingan tidak sehat diantara sesama pedagang Belanda.
b. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dengan pedagang dari bangsa lain.
c. Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi konflik dengan Spanyol.

Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, VOC diberi hak Istimewa (hak Octroi), yaitu

a. Dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia.
b. Hak monopoli dagang di wilayah-wilayah antara Amerika Selatan dan Afrika
c. Hak memiliki angkatan perang dan membangun benteng pertahanan
d. Hak menyatakan perang dan atau membuat perjanjian secara adil dengan penguasa pribumi
e. Hak mengangkat pegawai
f. Hak memungut pajak
g. Hak melakukan pengadilan dan hak mencetak serta menyebarkan uang sendiri.

Beberapa Kebijakan yang diberlakukan oleh VOC di Indonesia antara lain

a. Verplichte Leverantie = Penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC.
b. Contingenten = Kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.
c. Ekstirpasi = Hak VOC untuk menebang atau menggagalkan panen rempah-rempah agar tidak terjadi Over Produksi yang dapat menurunkan harga rempah-rempah.
d. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam.
e. Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan menggunakan perahu Kora-kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli dagang VOC dan menindak pelanggarnya.

Sebab-sebab kejatuhan VOC

a. Biaya perang yang besar dalam menghadapi perlawanan Bangsa Indonesia sehingga menghabiskan kas Negara.
b. Gaji pegawai yang rendah dan tidak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya sehingga mendorong mereka melakukan Korupsi. Korupsi tersebut otomatis menjadikan pemasukan Negara berkurang drastic.
c. Kekalahan VOC menghadapi persaingan dagang dengan pedagang Eropa maupun pedagang Asia lainnya.
d. Hutang VOC yang besar akibat dalam keadaan merugi tetapi tetap membayarkan keuntungan kepada pemegang Saham.
e. Terjadinya perang Inggris, Belanda dan Perancis sehingga menjadikan jalur perdagangan tidak aman dan adanya blokade-blokade dagang.

Masa Pemerintahan Herman W. Daendles

Langkah-langkah pembaharuan yang harus dilakukan Daendles

a. Dalam bidang pemerintahan:
1. Pusat pemerintahan (weltevreden) dipindahkan agak masuk kedaerah pedalaman.
2. Membentuk secretariat Negara (Algement secretaric).
3. Membagi pulau jawa menjadi 9 prefektur dan 31 Kabupaten. Setiap prefektur dikepalai oleh seorang residen yang langsung dibawah pemerintahan Wali Negara (Daendles). Setiap residen membawahi beberapa bupati.

b. Dalam bidang hukum dan peradilan:
membentuk 3 jenis peradilan berdasarkan ras, yaitu peradilan orang Eropa, Orang Pribumi dan pengadilan untuk orang timur asing.

c. Dalam bidang militer dan pertahanan :
1. Membangun jalan Anyer-Panarukan.
2. Menambah jumlah angkatan perang dari 3000 menjadi 20000
3. Membangun pabrik senjata di Gresik dan Semarang
4. Membangun pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dan Surabaya.
5. Membangun benteng-benteng pertahanan

d. Dalam bidang ekonomi dan keuangan:
1. Membentuk dewan pengawas keuangan Negara (Algemene Rekenkaer).
2. Mengeluarkan uang kertas.
3. Memperbaiki gaji pegawai
4. Pajak in natura (contingenten) dan Verplichte Leverantie.
5. Mengadakan monopoli perdagangan bebas

e. Dalam bidang social
1. Pemberlakuan kerja rodi
2. Mengembangkan perbudakan
3. Menghapuskan upacara penghormatan kepada residen, sunan / sultan
4. Membuat jaringan pos distrik dengan menggunakan kuda pos.*

Masa Pemerintahan Raffles

Kebijakan utama Raffles adalah Pertanian Bebas (petani pribumi bebas menanm tanaman apa saja, baik kebutuhan sendiri maupun tanaman ekspor) & Sewa Tanah (Landrent)

Kebijakan Raffles adalah :

a. Bidang pemerintahan
1. Membagi pulau Jawa menjadi 18 Karisidenan. Setiap karisidenan dibagi menjadi beberapa distrik, setiap distrik terbagi beberapa divisi (kecamatan) dan setiap divisi merupakan kumpulan beberapa desa.
2. Mengganti system pemerintahan feudal menjadi system pemerintahan colonial bercorak Barat.
3. Bupati-bupati dijadikan pegawai pemerintah colonial yang langsung di bawah pemerintahan pusat.

b. Bidang Ekonomi dan Keuangan
1. Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor dan pemerintah berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman eksopor.
2. Penghapusan pajak hasil bumi (Contingenten) dan system penyerahan wajib.
3. Penetapan sewa tanah (landrent). Petani pribumi dianggap sebagai penyewa tanah pemerintah sehingga tanah yang dikelola oleh petani harus membayar pajak.
4. Pemungutan pajak awalnya secara perorangan, tetapi karena petugas tidak cukup maka dipungut perdesa dan dibantu oleh Bupati dan kepala desa.
5. Mengadakan monopoli garam dan minuman keras.

c. Bidang Hukum.
Membentuk badan penegak hukum yaitu Court of Justice (tingkat residence), Court of Request (divisi) dan police magistrate.

d. Bidang Sosial.
1. Menghapuskan kerja rodi
2. Penghapusan perbudakan
3. Peniadakan hukumam-hukuman yang kejam dan menyakiti.

e. Bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
1. ditulisnya buku tentang History of Java
2. mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
3. Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi.
4. Dirintisnya pembangunan Kebun Raya Bogor.

Hambatan-hambatan yang dialami oleh Raffles :

a. Keuangan Negara dan pegawai yang cakap sangat terbatas.
b. Masyarakat Indonesia masih sangat tradisional dalam pertanian, bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak tertarik untuk menanam tanaman ekspor dunia.
c. System ekonomi yang sangat tradisional dan belum mengenal system peredaran uang. (ini juga penyebab gagalnya system Landrent, karena pajak yang dibayarkan harus dalam bentuk uang, sedangkan masyarakat belum mengenal dengan baik system uang tersebut)
d. Belum adanya pengukuran tanah milik penduduk secara tepat serta kepemilikan tanah yang berdasarkan warisan, sehingga menyulitkan untuk menentukan berapa luas tanah yang kena pajak dan siapa yang akan membayar pajak.
e. Adanya pejabat yang korup dan bertindak sewenang-wenang.
f. Pajak terlalu tinggi sehingga banyak tanah yang tidak digarap.

Masa Pemerintahan Van Den Bosch.

Ketentuan Tanam Paksa (culture Stelsel), adalah :
1. penyediaan tanah untuk tanam paksa berdasarkan persetujuan penduduk.
2. Tanah yang diberikan tidak lebih dari seperlima
3. Tanah tersebut bebas pajak
4. Kelebihan hasil panen akan diberikan kepada petani
5. Pekerjaan menanam padi tidak lebih dari waktu menanm padi.
6. Kegagalan panen yang bukan kesalahan petani merupakan tanggungjawab pemerintah.
7. Bagi yang tidak memiliki tanah dipekerjakan dipabrik atau perkebunan pemerintah.
8. Pelaksanaannya oleh pemimpin pribumi.

Penyimpangan-penyimpangan kebijakan tanam paksa :
1. Perjanjian penyediaan tanah dilakukan dengan paksaan.
2. Tanah yang digunakan lebih dari seperlima.
3. Pengerjaan tanah untuk tanam paksa melebihi waktu tanam padi.
4. Tanah tersebut masih dikenai pajak.
5. Kelebihan hasil panen tidak diberikan kepada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggungan petani.
7. Buruh dijadikan tenaga paksaan

Politik Pintu Terbuka.

Latar belakang pemberlakuan kebijakan tersebut :
a. tanam Paksa
b. berkembangnya paham liberalism di Eropa.
c. Kemenangan partai liberal di Belanda
d. Traktat Sumatra 1871

Landasan utama pelaksanaan kebijakan adalah pembebasan lahan tidak lagi dimiliki oleh Negara belanda saja namun di tuntut untuk di buka bagi pihak swasta dan pemilik modal yang ingin beriventasi di Indonesia.

Akibat System Politik Liberal Colonial.

a. Bagi Belanda
1. Memberikan keuntungan besar bagi kaum swasta Belanda dan colonial Belanda
2. Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalami kemajuan.
3. Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan.

b. Bagi Indonesia
1. Kemerosotan kesejahteraan penduduk.
2. Adanya krisis perkebunan tahun 1885
3. Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras.
4. Menurunnya usaha kerajinan rakyat
5. Rakyat menderita dengan diterapkannya kerja rodi.

Politik Etis

Latar belakang pemberlakuan kebijakan :
a. System ekonomi liberal tidak mengubah nasib rakyat.
b. Tanam paksa memberi keuntungan kepada Belanda tetapi penderitaan bagi rakyat.
c. Belanda melakukan penekanan dan penindasan terhadap rakyat.
d. Rakyat banyak yang kehilangan tanahnya.
e. Adanya kritikan keras di Negeri Belanda terhadap praktik colonial Belanda.

Isi kebijakan Politik Etis adalah Irigrasi (pengairan), Emigrasi (perpindahan penduduk), edukasi (pendidikan).

Politik etis mengalami kegagalan, penyebabnya adalah :
a. Sistem ekonomi liberal hanya member keuntungan yang besar bagi belanda.
b. Sangat sedikit penduduk pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik.
c. Pegawai negeri golongan pribumi hanya dijadikan alat.

Pengaruh kebijakan Kolonial dalam kehidupan social masyarakat Indonesia;
1. Indonesia mengenal system ekonomi uang dan mulai meninggalkansistem barter.
2. Indonesia mengenal system peradilan dan hokum.
3. Masyarakat Indonesia berada di golongan social ketiga setelah Belanda dan Eropa di strata satu dan Cina di strata kedua.
4. Indonesia mengenal cara bertanam yang baik dan tanaman yang laku di pasaran Eropa.
5. Indonesia mengenal peralatan industry dan mengalami kemajuan dalam bidang teknologi baik dalam transportasi, industry dan komunikasi.

Perlawanan Masyarakat Indonesia terhadap Belanda

Sebelum Tahun 1800
1. Perlawanan Sultan Baabullah menentang Portugis (Ternate)
2. Dipati Unus menyerang porugis di Malaka.
3. Panglima Fatahillah menduduki Jawa Barat.
4. Sultan Iskandar Muda menyerang Portugis.

Sesudah Tahun 1800
1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah Pattimura
2. Perang Paderi (Imam Bonjol)
3. Perang di Ponegoro
4. Perang Aceh
5. Perang Bali
6. Perang Bone
7. Perang Banjarmasin,

Sejarah Pasukan Hantu Maut Pada Agresi Militer


Sejarah Pasukan Hantu Maut Indonesia Pada Agresi Militer di Yogyakarta - Pasukan Hantu Maut bukanlah makhluk halus dari alam lain yang membuat bulu kuduk merinding. Pasukan Hantu Maut adalah pasukan gerilyawan Republik Indonesia yang berasal dari pemuda kampung Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen Yogyakarta. Pasukan ini ditugaskan untuk melawan pasukan NICA Belanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Militer Belanda kedua).

Mungkin tidak banyak orang tahu Ndalem Pujokusuman adalah bekas markas perang. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Ndalem Pujokusaman adalah tempat berlatih tari.

Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu Maut.

Mungkin tidak banyak orang tahu Ndalem Pujokusuman adalah bekas markas perang. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Ndalem Pujokusaman adalah tempat berlatih tari.

Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu Maut.


Akhirnya pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman, Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada pasukan Samber Gelap. Dengan bergabungnya pemuda-pemuda tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan yang berseragam kaos oblong hijau dan celana putih itu menjadi Pasukan Hantu Maut.

Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.

Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta. Organisasi ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan kekeluargaan untuk gotong royong, memikirkan para anggotanya yang masih memerlukan bantuan. 

Tuntutan untuk Ulang pemungutan suara Pepera

 

Tuntutan untuk Ulang pemungutan suara  Pepera - Setelah Kejatuhan Soeharto tahun 1998, Uskup Agung Desmond Tutu aktivis Hak Asasi Manusia dan beberapa anggota parlemen Amerika dan Eropa meminta Sekretaris PBB Kofi Annan untuk meninjau peran PBB dalam pemungutan suara  Ada ura-ura yang telah memanggil PBB untuk melakukan referendum sendiri, dengan semua suara pemilih dan kritik mengatakan Perjanjian New York adalah sah biarpun tidak dilibatkan masyarakat asli Papua tetapi Penentuan Pendapat Rakyat tidak memenuhi Kriteria atau tidak sesuai dengan praktek Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi yaitu dengan cara "One Man One Vote" satu orang satu suara, tetapi dilakukan menurut kebiasaan Indonesia dengan "Musyawarah" banyak orang satu suara. Para peserta Penentuan Pendapat Rakyat dipilih dan memilih oleh Indonesia sendiri, malah para peserta diteror dan diintimidasi dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.
Mereka menyerukan suara juga menunjuk pada lisensi tahun 30 dimana Indonesia dijual kepada perusahaan Freeport-McMoRan untuk hak penambangan Papua pada tahun 1967, dan untuk respon militer Indonesia terhadap referendum Timor Timur sebagai pendukung untuk mendiskreditkan 1969 Tindakan Pemilihan Bebas. Posisi Pemerintah Indonesia bahwa PBB mencatat hasil memvalidasi pelaksanaan dan hasilnya. Tuntutan tersebut itu karena Penentuan Pendapat Rakyat Referendum tidak diadakan sesuai dengan praktek Hukum Internasional, HAM dan Demokrasi yaitu dengan cara "One Man One Vote" satu orang satu suara, tetapi Penentuan Pendapat Rakyat malah dilakukan menurut kebiasaan Indonesia yaitu Musyawarah "satu suara banyak orang". dan para peserta PEPERA itu dipilih oleh pemerintah Indonesia Sendiri, dan para peserta itu diintimidasi dan teror oleh Militan dan Militer TRIKORA Indonesia yang dikomandoankan oleh Soeharto 1963 setelah setahun mendeklarasikan kemerdekaan negara West Papua pada tanggal 1 Desember 1962. Trikora yang dikomandoankan untuk membubarkan negara baru West Papua yang terbentuk itu dan mensukseskan penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dengan pengkondisian yaitu menghabiskan Organisasi Papua Merdeka yang mendirikan negara West Papua yang lengkap dengan atribut negara. 

Proses dan Tahap Penentuan Pendapat Rakyat

 

Proses
Menurut Pasal 17 dari New York Agreement, plebisit itu tidak terjadi sampai satu tahun setelah kedatangan wakil PBB Fernando Ortiz-Sanz di wilayah pada tanggal 22 Agustus 1968. Namun setelah NASA mengumumkan jadwal penerbangan Apollo 11 mendarat di Bulan untuk Juli, Indonesia mengusulkan plebisit yang dilakukan enam minggu-minggu awal selama bulan Juli 1969.

Perjanjian New York ditetapkan bahwa semua laki-laki dan perempuan di Papua yang tidak asing memiliki hak untuk memilih dalam Undang-Undang. Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, bukan dipilih 1025 orang Melanesia dari perkiraan populasi 800.000 sebagai wakil Barat New Guinea untuk suara. Mereka memilih publik dan secara bulat mendukung tersisa dengan Indonesia. PBB mencatat hasil dengan Resolusi Majelis Umum 2504. Menurut Hugh Lunn, wartawan dari Reuters, orang-orang yang dipilih untuk suara itu diperas menjadi suara menentang kemerdekaan dengan ancaman kekerasan terhadap orang-orang mereka [1] Kontemporer diplomatik kabel menunjukkan. Amerika diplomat mencurigai bahwa Indonesia tidak bisa memenangkan pemungutan suara yang adil , dan juga mencurigai bahwa suara itu tidak dilaksanakan secara bebas, namun para diplomat melihat acara sebagai "kesimpulan terdahulu" dan "marjinal untuk kepentingan AS"

Tahap-Tahap Pepera

Sebagai bagian dari perjanjian New York , Indonesia sebelum akhir tahun 1969 wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera. Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni sebagai berikut,
  •     Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan deewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.
  •     Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan Musyawarah pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969.
  •     Tahap ketiga dilaksanakan pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.

Pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.

Dasar Penentuan Pendapat Rakyat

 

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB, meskipun validitas suara telah ditantang dalam retrospeksi.

Dasar

Referendum dan melakukan yang telah ditetapkan dalam Perjanjian New York; Pasal 17 yang sebagian mengatakan:

"Indonesia akan mengundang Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang Wakil yang" .. "akan melaksanakan tanggung jawab Sekretaris-Jenderal untuk memberikan saran, membantu, dan berpartisipasi dalam pengaturan yang menjadi tanggung jawab dari Indonesia untuk pelaksanaan pemilihan bebas. Sekretaris Jenderal akan, pada waktu yang tepat, menunjuk PBB Perwakilan sehingga dia dan stafnya mungkin menganggap tugas mereka dalam satu tahun wilayah sebelum penentuan-diri. ".. "Perwakilan PBB dan stafnya akan memiliki kebebasan yang sama gerakan seperti yang disediakan bagi personel dimaksud dalam Pasal XVI".

Perjanjian ini berlanjut dengan Pasal 18:

Pasal XVIII Indonesia akan membuat pengaturan, dengan bantuan dan partisipasi PBB Perwakilan dan stafnya, untuk memberikan orang-orang di wilayah, kesempatan untuk melaksanakan kebebasan memilih. Pengaturan demikian akan mencakup:
  •     Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai prosedur dan metode yang harus diikuti untuk memastikan secara bebas menyatakan kehendak penduduk.
  •     Penentuan tanggal yang sebenarnya dari pelaksanaan pilihan bebas dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Persetujuan ini.
  •     Formulasi pertanyaan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penduduk untuk memutuskan (a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia, atau (b) apakah mereka ingin memutuskan hubungan dengan Indonesia.
  •     Kelayakan dari seluruh orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga asing untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri akan dilaksanakan sesuai dengan praktek internasional, yang bertempat tinggal pada saat penandatanganan Persetujuan ini, termasuk mereka warga yang berangkat setelah 1945 dan yang kembali ke wilayah itu untuk melanjutkan tinggal setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.

Latar Belakang Oprasi Tri Komando Rakyat

Berkas:Handbook-map.jpg 

Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat), juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Latar Belakang

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

Sejarah Hasil Kesepakatan Perjanjian Roem - Roijen

Berkas:Permulaan1 zoom.jpg 

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Kesepakatan

Hasil pertemuan ini adalah:

  •     Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
  •     Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
  •     Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
  •     Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
  •     Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
  •     Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  •     Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Pasca perjanjian

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.

Latar Belakang dan Hasil Konferensi Meja Bundar

Berkas:Round Table Conference.jpg 

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.


Latar belakang

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.


Hasil konferensi

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
  •     Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
  •     Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara
  • Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
  1.     Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  2.     Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
  3.     Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949
*Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan.


Pembentukan RIS

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Latar Belakang Agresi Militer Belanda 2

1948 agresi2-1b.jpg 

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

Pemerintahan Darurat

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Serangan ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.

Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai" .

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.

Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Gerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka bergabung dengan DI/TII karena NII telah memproklamirkan kemerdekaannya pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada akhirnya sejarah mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.

Pengasingan Pimpinan Republik


Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Latar Belakang Agresi Militer Belanda 1

Operasi Produk 

Operasi Produk atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.

Latar Belakang

Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Dimulainya operasi militer

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Campur tangan PBB

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Pertempuran lima Hari di Semarang

 

Pertempuran 5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang. Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November - perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).

Pertempuran dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober 1945. 2 hal utama yang menyebabkan pertempuran ini terjadi karena larinya tentara Jepang dan tewasnya dr. Kariadi

Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia

Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan tokoh-tokohnya

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Kaburnya tawanan Jepang

Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidobutai di Jatingaleh.

Tewasnya Dr. Kariadi

Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, (Sekarang menjadi kawasan industri Candi Semarang) waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang Rumah Sakit Kariadi) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.